ANTIHIPERTENSI




PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan atau penggunaan obat jangka panjang (Depkes, 2006).
Estimasi prevalensi untuk hipertensi diperkirakan sebesar 1 milyar individu dan kira-kira 7,1 juta mengalami kematian per tahun, kemungkinan disebabkan karena hipertensi (Chobanian et al., 2003). Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) pada tahun 1999-2000 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 58,4 juta warga Amerika mengalami hipertensi, tetapi baru sekitar 68,9% warga Amerika yang menyadarinya. Dari angka tersebut hanya 58,4% pasien yang melakukan perawatan dan kurang dari 25% pasien yang tekanan darahnya terkontrol (Carter dan Saseen, 2005). Pelayanan biaya kesehatan, khususnya biaya obat telah meningkat tajam dan kecenderungan ini nampaknya akan terus berlanjut. Total pelayanan 2 kesehatan untuk hipertensi di Amerika telah diperkirakan sekitar $ 15 milyar per tahunnya. Total pelayanan kesehatan ini sudah termasuk biaya medik langsung dan juga biaya medik tak langsung. Biaya medik langsung meliputi biaya obat, konsultasi medik dan test laboratorium (Da Costa et al., 2002). Hal ini antara lain disebabkan adanya obat-obat baru yang lebih mahal dan perubahan pola pengobatan (Trisna, 2007).
 Analisis retrospektif dari biaya perawatan hipertensi di satu klinik pengobatan internal, melihat biaya kunjungan rumah sakit , tes laboratorium, dan obat-obatan. Biaya perawatan hipertensi $ 947 tahun pertama pengobatan, $ 575 tahun kedua, dan $ 420 per tahun sesudahnya.
Sebuah tinjauan profil resep selama oktober 1995 dilakukan pada 219 pasien yang dipilih secara acak terdaftar dalam Medicaid program perawatan, delapan puluh empat profil yang dianalisis, 24% dari pasien pada kombinasi ACE inhibitor / CCB regimen dengan biaya bulanan rata-rata $ 135, pada pemakaian tunggal amlodipin-benazepril dengan biaya bulanan rata-rata $ 45. $ 1080 setiap satu pasien per tahun dan $ 1.080.000 pertahunnya untuk jumlah yang dihitung dari hipertensi pada terapi kombinasi dalam jaringan 15.000 pasien.
Dalam langkah optimal hipertensi, mengobati hipertensi dapat menggunakan obat tunggal (monoterapi) atau dengan kombinasi. Berbagai observasi dan uji klinis mengindikasikan bahwa terapi kombinasi diperlukan dalam mengendalikan tekanan darah, terutama pada pasien hipertensi yang disertai diabetes, stroke, dan usia lanjut. Joint National Committee on Prevention, 3 Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) merekomendasikan penggunaan terapi kombinasi sebagai terapi lini pertama untuk hipertensi stadium 2 dan bagi pasien dengan penyulit seperti gagal jantung, pasca infark miokard, risiko tinggi penyakit koroner, diabetes, penyakit ginjal kronik, atau riwayat stroke. Pada kondisi-kondisi tersebut, kombinasi dua obat akan memudahkan pencapaian target tekanan darah.

1.2  Rumusan Masalah
1)   Apa itu Antihipertensi?
2)   Apa saja obat Antihipertensi?

1.3  Tujuan
1)   Untuk mengetahui apa itu Antihipertensi
2)   Untuk mengetahui apa saja obat Antihipertensi

1.4  Manfaat
Mahasiswa dan Pembaca dapat mengetahui tentang Antihipertensi dan Obat Antihipertensi.





PEMBAHASAN

2.1  Antihipertensi
Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. Sedangkan definisi hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg.
Di Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6- 15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial (Armilawaty, 2007).
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini (Armilawaty, 2007).
Hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala dan tanda. Hal inilah mengapa sangat penting untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah secara rutin (Ananta, 2009). Baru setelah beberapa tahun adakalanya pasien merasakan nyeri kepala pada pagi hari sebelum bangun tidur, di mana nyeri ini biasanya hilang setelah bangun tidur. Gangguan hanya dapat dikenali dengan pengukuran tensi dan adakalanya melalui pemeriksaan laboratorium dan tambahan seperti fungsi ginjal dan pembuluh darah (Tjay dan Rahardja, 2007).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah tekanan darah di atas 140/90mmHg (WHO).
Klasifikasi
Sistol (mmHg)
Diastol (mmHg)
Normal
<120
<80
Prehipertensi
120-139      
80-90
Hipertensi Tingkat 1
140-159
90-100
Hipertensi Tingkat 2
>160
>100
                (Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih berdasarkan JNC VII, 2003)

2.2 Obat Antihipertensi
Tujuan awal pengobatan ditujukan pada penurunan tekanan darah, tetapi tujuan akhir adalah untuk menghindarkan komplikasi lambat, memperbaiki kualitas dan memperpanjang hidup. Ada beberapa hasil penelitian yang memberikan data bahwa menurunkan tekanan darah dengan beberapa obat seperti angiotensin converting enzyme inhibitors (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI), angiotensin receptor blockers (ARB), ß-blocker, calcium channel blockers (CCB), and tiazid tipe diuretik akan mengurangi komplikasi yang disebabkan hipertensi. Pengobatan dengan antihipertensi harus selalu dimulai dengan dosis rendah agar tekanan darah jangan menurun terlalu drastis dengan mendadak. Dosis dinaikkan berangsur-angsur sampai tercapai efek yang diinginkan yang dinamakan metoda start low go slow (Tjay dan Rahardja, 2007).
Untuk penanganan hipertensi, rekomendasi WHO menganjurkan lima jenis obat dengan daya hipotensif dan efektivitas kurang lebih sama, yaitu diuretik tiazid, ß-blockers, antagonis-Ca, ACE-inhibitors dan ATII-reseptor blockers. Kerja dari semua obat ini terletak pada daya kerja penurunan tekanan darah (Tjay dan Rahardja, 2007).
Obat-obat antihipertensi dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
a.    Diuretik
Pada pasien yang fungsi ginjalnya adequate, filtrasi glomerolus > 30ml/menit, thiazid lebih efektif dibandingkan loop diuretic. Namun pada fungsi ginjal yang menurun dan terjadi akumulasi Na+ dan cairan, loop diuretic lebih diperlukan (Priyanto, 2009). Diuretik juga bekerja dengan menurunkan volume darah yaitu dengan meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal. Disamping itu, kerja diuretic juga berpengaruh langsung terhadap dinding pembuluh, yakni penurunan kadar Na yang membuat dinding lebih kebal terhadap noradrenalin, sehingga daya tahannya berkurang (Tjay dan Rahardja, 2007). Golongan diuretik mempunyai banyak fungsi, misalnya klorotiazid. Klorotiazid ini mulanya diberikan untuk mengurangi kadar Na dan jumlah air di dalam tubuh, tetapi kemudian terbukti berefek vasodilatasi langsung terhadap pembuluh darah dan bekerja sinergistik dengan obat antihipertensi lainnya serta berfungsi sebagai saluretik.
b.    Alfa-receptor blocker
Zat-zat ini memblok reseptor-alfa adrenergik yang terdapat di otot polos pembuluh (dinding), khususnya di pembuluh kulit dan mukosa. Efek samping dari jenis obat ini adalah sebagai berikut:
1) Hipotensi orthostatis (reaksi first dose) yang terjadi pada permulaan terapi dan setelah peningkatan dosis.
2) Efek lain yang dapat terjadi adalah pusing, nyeri kepala, hidung, mampat, pilek, gangguan tidur, udema, debar jantung, perasaan lemah, gangguan potensi, pingsan, dan mual.
3) Kombinasi dengan ß-blockers dan antagonis Ca meningkatkan resiko hipotensi, sedangkan kombinasi dengan diuretika dan penghambat ACE lebih sering menimbulkan pusing. (Tjay dan Rahardja, 2007) 10 Alfa blocker dapat digunakan dengan obat antihipertensi lainnya dalam pengobatan dari hipertensi yang resisten.
c.  Beta-receptor blockers.
Zat-zat ini memiliki sifat kimia mirip dengan ß-adrenergik isoprenalin, Pindolol, penbutol, carteolol, dan acebutol mempunyai instrinsik simpatomimetik activity (ISA) atau aktivitas antagonis partial ß-reseptor (Priyanto, 2009). Instrinsik Simpatomimetik Activity (ISA) dapat memperkecil efek samping bradikardia dengan menurunkan tahanan perifer yang disebabkan oleh efek vasodilatasi tanpa mempengaruhi curah jantung.




PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan:
1)   Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. Sedangkan definisi hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg.
2)   Untuk penanganan hipertensi, rekomendasi WHO menganjurkan lima jenis obat dengan daya hipotensif dan efektivitas kurang lebih sama, yaitu diuretik tiazid, ß-blockers, antagonis-Ca, ACE-inhibitors dan ATII-reseptor blockers. Kerja dari semua obat ini terletak pada daya kerja penurunan tekanan darah

3.2  Saran
1)   Untuk Pembaca
Diharapkan essay ini dapat menambah wawasan pembaca tentang antihipertensi dan juga sebagai referensi pengetahuan.
2)   Untuk Masyarakat penderita Hipertensi
Diharapkan masyarakat penderita Hipertensi untuk menjaga pola makan sehat, khususnya tidak mengkonsumsi makanan asin, dan juga lebih teratur dalam mengonsumsi obat- obatan.



DAFTAR PUSTAKA

Armilawaty. 2007. Hipertensi dan Faktor Resiko Dalam Kajian Epidemiologi. Bagian Epidemiologi FKM UNHAS. http//ridwanamiruddin. com/2007/12/08 hipertensi-dan-faktor-risikonya-dalam-kajian-epidemiologi/, (online) diakses tanggal 29 Juni 2020

Depkes RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Tjay, T. H dan Raharja, R., 2007, Obat-Obat Penting, Edisi VI cetakan I, Media Elek Komputindo. Jakarta.

Trisna, Y., 2007. Aplikasi Farmakoekonomi Dalam Pelayanan Kesehatan, Media Informasi. Indonesia/edisi 3/September-november.






Komentar